Kecerdasan moral menjadi bagian yang penting untuk membentuk profil pelajar Pancasila yang dicita-citakan akan memiliki ahklak mulia dalam dirinya. Dengan kemampuan berbuat baik, memilih mana yang benar dari yang salah, membedakan dan menetapkan keputusan dan tindakan yang benar dari yang salah, dan mengambil resiko untuk pengambilan keputusan yang dilakukan dengan penuh keyakinan diri atas kebenaran berdasarkan nilai-nilai yang universal. Kemampuan inilah yang dibutuhkan untuk dimiliki setiap pelajar Pancasila dalam menghadapi berbagai tantangan di masa kini maupun di masa yang akan datang.
Pelajar Pancasila yang berahlak mulia dapat mengimplementasikan kecerdasan moralnya dalam kehidupan beragama, kehidupan pribadinya dan kepada sesama manusia, alam dan dalam kehidupan bernegara. Melalui pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dan mata pelajaran lainnya diharapkan pelajar Pancasila dapat melakukan proses membentuk dan membangun diri mencapai ahlak yang mulia.
Sesuai dengan fungsinya sebagai pendidikan moral yang bertujuan membentuk warga negara yang cerdas, terampil, berkarakter baik, setia pada bangsa dan negara. Untuk itu proses pembelajaran dilakukan secara efektif sehingga tujuan dari pendidikan yang dilakukan memperoleh hasil yang optimal.
Dengan memiliki ahlak mulia bermanfaat untuk menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai pondasi kuat dan tameng dalam menghindari dampak negatif dari kehidupan di era Revolusi 4.0.
Dalam menghadapi tantangan di era revolusi 4.0 terdapat dampak negatif yang timbulkan dari perubahan yang terjadi di dalam kehidupan sosial budaya siswa Sekolah Dasar. Kehadiran teknologi digital dan internet membuat siswa dengan mudah mengakses internet melalui konten negatif yang dapat merusak moral, selanjutnya dapat merusak karakter bangsa Indonesia.
Hal ini diperkuat dengan hasil studi dari Kementerian Kominfo, Kementerian PPPA bersama UNICEF yang meluncurkan ground-breaking yang menganalisis aktivitas dan perilaku online dikalangan anak dan remaja dalam Siaran Pers No. 17/PIH/KOMINFO/2/2014 yang menyatakan bahwa menurut data terbaru, setidaknya 30 juta anak-anak dan remaja di Indonesia merupakan pengguna internet, dan media digital saat ini menjadi pilihan utama saluran komunikasi yang mereka gunakan.
Ditemukan juga data bahwa 80 % responden yang disurvei merupakan pengguna internet. di daerah perkotaan hanya 13 persen dari anak dan remaja yang tidak menggunakan internet, sementara daerah perdesaan, menyumbang jumlah 87 persen. Selain itu, hampir semua dari mereka tidak setuju terhadap isi pornografi di internet.
Namun, sejumlah besar anak dan remaja telah terekspos dengan konten pornografi, terutama ketika muncul secara tidak sengaja atau dalam bentuk iklan yang memiliki bernuansa vulgar (Indonesia, 2014) (diunduh 27 Juli 2020).
Selanjutnya angka kenakalan remaja di tahun 2016 meningkat cukup pesat, yakni lebih dari 20%. Kepala Sub Bidang Kesehatan Reproduksi, Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPKBPPPA), Nurul Hidayati, mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena beberapa faktor, diantaranya pengaruh lingkungan dan Gadget. “Sekarang anak SD aja sudah bawa hp dan bisa membuka situs-situs aneh, dan rasa penasaran anak ini yang belum siap untuk menerima itu,” tegasnya (Hidayati, 2017).
Selain kenakalan anak dalam penyalahgunaan internet juga banyak berlangsung kejadian-kejadian tindak kenakalan anak dan remaja lainnya. Bermacam-macam perbuatan negatif atau yang menyimpang dilakukan oleh beberapa anak dan remaja, yang menurut mereka hanya biasa-biasa saja, apalagi ada yang menganggapnya sebagai sesuatu kebanggaan.
Mereka sering menyebutkan perilaku tersebut hanyalah sebagai penunjukkan lambang sesuatu keberanian dirinya, namun perilaku anak dan remaja yang negatif ini sebagai suatu perilaku yang amat memprihatinkan bagi kalangan remaja di Indonesia (Unayah, 2015).