Tentunya menjadi tugas bersama untuk membuat konten yang informatif yang mengandalkan akurasi. Belum lagi ancaman yang belum bisa membedakan ujaran kebencian dan kebebasan berbicara di social media.
Peran pengawasan pemilu menjadi tidak mudah dalam generasi z ini, mereka harus ikut menyentuh dan membuka mata akan tekhnologi. Terlebih lagi para pelaku politik dan peserta pemilu memandang tim media sosialnya sangat penting untuk mengendorse tokohnya.
Maka dari itu, pengawas pemilu harus mengikuti algoritma social media untuk mendapatkan atensi. Bukan membuat arus tersendiri yang membuat jauh dari akses public social media atau dalam hal ini melawan algoritmanya.
Jika memang misalnya di tiktok harus berjoget, pengawas pun harus melakukan itu untuk menyebarkan konten edukasi politik, supaya isi konten pragmatis ini menghadirkan nuangsa baru yang edukatif.
Memang pada dasarnya akan dinilai cringe oleh generasi Z, namun inilah salah satu cara untuk hadir di zamannya. Pengawas pemilu harus rela beradaptasi agar mampu beradaptasi memberi pemahaman generasi Z.
Pengawasan Pemilu Ramah Anak
Elemen kedua yaitu anak, selain isu media social yang bergerak dengan cepat, juga keterlibatan anak dalam politik dapat menjadi isu yang kompleks.
Beberapa negara mungkin mengizinkan anak-anak untuk terlibat dalam kegiatan politik seperti berpartisipasi dalam pertemuan atau kampanye yang sesuai dengan usia mereka.
Namun, mereka sering kali terbatasi untuk melakukan kegiatan yang dapat membahayakan atau mengganggu kehidupan mereka. Seperti berbicara di depan umum atau terlibat dalam kegiatan yang tidak pantas. Seperti Halnya di Indonesia.
Hal ini, perlu untuk melindungi hak-hak anak, memastikan bahwa mereka tidak menjadi korban atau tereksploitasi oleh kepentingan politik. Serta memberikan mereka kesempatan untuk fokus pada pendidikan dan perkembangan mereka tanpa tekanan politik yang berlebihan.